Bahasa Indonesia X 3.9 (A) Ikhtisar Buku Nonfiksi
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah kegiatan pembelajaran 1 ini diharapkan
Kalian mampu menulis ikhtisar buku nonfiksi dengan kreatif, inovatif, dan semangat agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga cepat dalam menangkap dan menyimpulkan informasi dalam suatu bacaan.
B. Uraian Materi
Sebelum kalian melakukan kegiatan ikhtisar dua buku nonfiksi. Kalian harus pahami terlebih dahulu, apakah itu ikhtisar. Ikhtisar adalah sebuah penyajian singkat dari sebuah karangan asli yang tidak perlu memberikan seluruh isi dari karangan asli secara proporsional
Dalam hal tersebut, menurut para ahli, ikhtisar adalah sebuah penulisan dari pokok-pokok masalah penulisannya tidak diharuskan berurutan, akan tetapi boleh dengan secara acak atau juga disajikan dalam bahasa pembuat ikhtisar tanpa mengubah tema dari sebuah wacana. Ikhtisar ini berfungsi sebagai garis-garis besar dari masalah di dalam sebuah wacana yang berukuran pendek atau sedang.
Penulis ikhtisar tersebut dapat langsung mengemukakan inti atau pokok dari suatu masalah dan problematika dalam pemecahannya.
Sebagai ilustrasi, ada beberapa bagian atau isi dari beberapa bab, dapat diberikan untuk dapat menjelaskan inti atau pokok dari masalah tersebut. Sementara bagian yang lain yang kurang penting bisa dihilangkan. Dari segi bentuk ikhtisar ini lebih bebas dibandingkan dengan ringkasan.
Ciri-Ciri Ikhtisar
1. Tidak mempertahankan urutan gagasan.
2. Bebas mengombinasikan sebuah kata-kata dengan syarat tidak menyimpang dari inti.
3. Tujuannya untuk mengambil sebuah inti.
Fungsi ikhtisar
1. Untuk mengembangkan ekspresi serta penghematan kata.
2. Memahami serta mengetahui isi sebuah buku atau sebuah karangan.
3. Membimbing serta menuntun seseorang agar dapat memahami inti dari suatu isi.
Selain itu, ada beberapa hal yang harus kalian perhatikan untuk membuat ikhtisar yang kreatif dan inovatif. Untuk itu ,kalian cermati dua kutipan buku nonfiksi berikut!
Minat Baca Anak Indonesia
Membaca buku itu penting! Semua orang tahu dan pasti setuju. Oleh sebab itu, menjadi beralasan mengenalkan buku dan kegiatan membaca pada anak-anak. Dengan kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini, mereka menjadi lebih mudah mempelajari apa pun, termasuk pelajaran di sekolah yang berefek pada meningkatnya prestasi akademik.
Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana minat baca anak Indonesia? Berdasarkan riset lima tahunan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD, Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maka. dan Afrika Selatan.
Sedikitnya ada tiga realitas di balik temuan PIRLS tersebut. Pertama, jumlah perpustakaan SD di Indonesia sangat minim. Mengapa demikian? Karena mayoritas anak kenal dan mulai membaca buku dari perpustakaan sekolah, meskipun saat ini TBM sudah bertebaran di mana-mana.
Berdasarkan data terakhir, terdapat 169.031 SD dan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia. Artinya, jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan oleh UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, ada 169.031 perpustakaan.Tentu anak-anak akan memperoleh kemudahan mengakses bahan bacaan. Namun, yang terjadi tidak begitu. Di Indonesia, SD yang memiliki perpustakaan sekitar 1 persen lebih sedikit dari data jumlah sekolah. Persentase sekecil itu pun belum ditilik lebih dalam. Jika iya, saya pastikan angkanya akan semakin menciut. Misalnya, seberapa banyak koleksi buku yang dimiliki? Apakah keragaman bacaan yang dimiliki sudah memenuhi harapan pembaca? Bagaimana kondisi sarana (bangunan) dan prasana perpustakaan (misalnya, buku dan rak). Belum lagi jika pertanyaan kunci ini dilontarkan: yang mengelola perpustakaan adalah pustakawan atau sekadar guru piket yang dikaryakan sehingga sekadar menjadi tempat buku-buku kumal dan berdebu ditumpuk, tanpa ada program-program kreatif yang ditujukan untuk memasarkan perpustakaan?
Realitas kedua dari fakta rendahnya minat baca anak Indonesia adalah tidak adanya integrasi yang nyata, jelas, dan tegas antara mata pelajaran yang diberikan dengan kewajiban siswa untuk membaca. Siswa tidak diberi keleluasaan dan kebebasan mencari sumber pembelajaran di luar buku pegangan dari guru.
Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal mengenai bacaan wajib yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah berdasarkan jumlah maupun judul tertentu. Apalagi pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa secara bertahap dan rutin, baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan, bacaan yang dianjurkan, dan bacaan menyangkut pengetahuan umum.
Realitas ketiga, rendahnya minat baca anak Indonesia karena pengalaman pra-membaca dan membaca, atau berkenalan dengan buku, yang dialami anak kurang menyenangkan-jika enggan menyebutnya buruk. Buku, sebagai media yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat minat baca, dikenalkan kepada anak-anak dengan cara yang tidak menarik. Bahkan, menimbulkan trauma.
Biasanya, buku yang pertama kali diperkenalkan kepada anak-anak adalah buku pelajaran yang tebal menurut ukuran mereka. Isinya melulu tulisan, tidak bergambar, dan hurufnya pun kecilTentu saja keharusan membaca buku seperti itu laksana menyuruh anak membenci buku secara berj amaah.
Namun, giliran anak-anak tengah mendapatkan keasyikan membaca buku dalam bentuk komik atau cergam, orangtua buru-buru melarang keras, disertai semburan kata ancaman. Orangtua memfatwakan anak-anak bahwa membaca komik dan cergam hanya akan membuat mereka malas belajar dan bodoh. Padahal , komik bisa menjadi pintu masuk untuk mengembangkan imajinasi serta ragam bacaan anak ketingkat yang lebih luas. Apa yang dibaca sesungguhnya mengikuti perkembangan wawaan, cara berpikir, dan berkebutuhan mereka.
Di luar itu, promosi buruk orangtua tentang buku juga turut menyukseskan rendahnya minat baca anak. Promosi buruk tersebut berupa ketiadaan bahan bacaan di rumah serta minusnya keledanan dari orangtua.
Kakek
Rumah kakek nenek saya hanya satu blok dari rumah saya di kota New York. Waktu itu kami masih kecil. Kakek sering pada malam hari mengajak saya jalan-jalan ketika musim panas tiba.
Pada suatu malam, ketika saya dan kakek berjalan bersama, saya bertanya kepadanya tentang apa perbedaan keadaan sekarang dengan dulu. Kakek menjawab bahwa pada zaman dulu ketika dia masih kecil, jamban-jamban berada di luar rumah, bukan seperti sekarang yang berupa toilet mengkilap. Dulu semua orang menggunakan kuda, bukan mobil. Orang-orang berkomunikasi jarak jauh dengan surat, tidak seperti sekaan Vang bisa dilakukan dengan telepon. Zaman dulu juga masih menggunakan lilin, di mana sekarang, listrik sudah ada di mana-mana.
Saya mendengarkannya dan membayangkan semua keadaan sulit tersebut, tetapi tetap tidak bisa terbayang. Lalu saya menanyakan lagi kepadanya satu hai, ”Kakek, apa hal paling susah yang pernah terjadi dalam hidup kakek?”
Kakek menghentikan iangkahnya. Dia memandang langit dan tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Lalu dia berlutut, menggenggam kedua tangan saya, dan dengan berlinangan air mata, dia mengatakan, "Ketika ibumu dan adik-adiknya masih kecil-kecil. Nenekmu sakit parah. Untuk bisa sembuh, dia harus dirawat di satu tempat bernama Sanatorium. Dan itu butuh waktu yang lama sekali.”
"Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu itu kalau kakek sedang pergi kerja, jadi mereka kakek titipkan di panti asuhan. Para biarawati membantu kakek mengurusi anak-anakku itu, sementara kakek harus melakukan dua atau tiga bekerjaan. Kakek sangat butuh uang agar nenek bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah, bersama.”
"Yang paling sulit dalam hidup kakek adalah,” lanjut kakek masih dengan air matanya yang berlinang, ”kakek harus menaruh mereka di panti asuhan. Setiap minggu, kakek selalu mengunjungi mereka. Tetapi para biarawati tidak pernah menizinkan kakek untuk mengobroi bersama ibumu dan paman-pamanmu. Kakek bahkan tidak bisa menyentuh mereka. Kakek hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah cermin satu arah. Kakek bisa melihat mereka, tetapi mereka tidak bisa melihat kakek”.
Kakek kemudian menghapus air matanya sebentar, tetapi air matanya tetap keluar lagi.
”Kakek selalu membawakan mereka permen setiap minggu. Berharap mereka tahu bahwa itu pemberian kakek. Bahwa kakek tidak pernah meninggalkan mereka. Kakek hanya bisa menaruh kedua tangan kakek di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh. Kakek tidak akan pernah beranjak dari sana selama waktu itu. Karena itu adalah waktu yang diberikan para biarawati. Kakek kadang berharap mereka melihat kakek, dan bahagia melihat kakek.”
Saya tidak berkata apa-apa dan hanya bisa mendengar kakek. Merasakan pedihnya perasaan kakek meski waktu itu saya masih kecil. Saya tidak pernah melihat kakek saya menangis, dan melihat itu, saya pun ingin menangis.
“Satu tahun, kakek tidak bisa menyentuh anak-anak kakek. Kakek sangat merindukan mereka. Kakek mengerti alasan para biarawati itu, bahwa jika mereka melihat kakek, itu akan semakin berat bagi mereka karena setelah itu, kami harus berpisah kembali. Karena itu kakek tidak bisa memaksa para biarawati mengizinkan kakek menemui mereka, anak-anak kakek. Ibumu dan pamanDamanmu.”
Kakek masih menangis. Dia |a|u memeluk saya eraterat. Saya mengatakan kepada kakek kemudian bahwa saya memiliki kakek terbaik di seluruh dunia dan bahwa saya sangat menyayanginya.
Lima belas tahun berlalu setelah itu, dan saya tidak pernah menceritakan kejadian istimewa itu kepada siapa pun. Bahkan ketika kami semua kemudian pindah ke negara bagian yang berbeda. Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapa pun. Dari tahun ke tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek saya pindah ke negara bagian yang berbeda.
Setelah nenek meninggal dunia, kakek mengalami penurunan daya ingat. Saya yakin, itu adalah tekanan yang sangat berat baginya. Saya kemudian memohon kepada ibu agar memperbolehkan kakek tinggal bersama kami, tetapi ibu menolaknya.
Saya merengek bahwa ini adalah kewajiban keluarga untuk memikirkan kakek juga.
Ibu lalu sedikit marah, dan membentak, “Kenapa?! Dia sendiri sama sekali tidak pernah peduli pada apa yang terjadi pada kami, anak-anaknya”
Saya kemudian menyadari apa yang ibu maksud, dan berkata, ”Dia selalu memperhatikan dan menyayangi kalian."
Ibu saya menjawab, ”Kamu tidak mengerti apa yang kamu ndiri bicarakan!”
“Hal yang paling sulit bagi kakek adalah ketika harus menaruh ibu, paman Eddie dan paman Kevin di panti asuhan,” kataku lirih, tetapi cukup untuk didengar.
"Siapa yang menceritakan itu?” tanya ibu.
Ibu sama sekali tidak pernah menceritakan masa lainnya kepada kami, termasuk ketika dia dititipkan di panti asuhan. Jadi wajar jika dia merasa heran dan bertanya dari mana saya tahu kejadian itu.
“Bu, ketika itu, kakek selalu datang ke sana menjenguk ibu dan paman-paman setiap minggu. Kakek selalu memperhatikan kalian dari belakang cermin satu arah itu. Kakek selalu membawakan permen setiap kali dia datang. Dia tidak pernah satu kali pun absen apapun keadaannya. Dia sangat membenci kenyataan bahwa selama setahun itu sama sekali tidak bisa memeluk ibu dan paman.”
“Kamu bohong!” ibu emosi. ”Dia tidak pernah datang! Tidak pernah ada yang datang menjenguk kamil”
”Lalu bagaimana aku tahu kunjungan Itu kalau dia tidak cerita dan benar-benar melakukannya? Bagaimana aku bisa tahu oIeh-oleh apa yang dibawanya setiap minggu. Dia benarbenar datang. Dia selalu datang. Ibu dan paman selalu menerima Permen. Kenapa hanya pada hari tertentu. Apakah anak yang lainnya menerima permen yang sama juga? Kenyataannya adalah para biarawati itu yang tidak pernah mengizinkan kakek menemui ibu dan paman. Kata mereka, itu akan mempersulit keadaan karena ibu dan paman pasti tidak akan mau berpisah dengan kakek begitu melihat kakek. Padahal kakek harus mencari uang untuk kesembuhan nenek.”
Ibu terdiam.
”Kakek mencintai ibu dan paman-paman. Selalu begitu.”
Setelah saya menceritakan kebenaran itu, hubungan kakek dan ibu berubah. Ibu jadi menyadari bahwa ayahnya selalu mencintainya. Keadaanlah yang memaksa kakek menitipkan mereka di panti asuhan. Dan akhirnya kakek tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.
*****
Cinta sering tidak terlihat kasat mata. Bahkan ketika kita ingin melihatnya. Kadang-kadang, cinta pun butuh untuk dijelaskan, baik oIeh dirinya sendiri maupun orang lain. Karena sebuah penjelasan bisa membuat mereka memahami. Itulah kenapa saling berbicara itu penting. Untuk saling memahami daripada menghakimi.
Seberapa sering kita menjadi teman bicara orang-orang yang kita sayangi ?
Sudahkah kalian membaca dengan cermat kedua kutipan tersebut? Apa yang pertama kalian lihat? ya benar! kover dan identitas bukunya. Apa lagi setelah itu? Kalian akan ikuti penjelasan berikut.
Cermati langkah-langkah menyusun ikhtisar!
1. Mengenali identitas Buku
Hal yang pertama kalian lakukan adalah, berkenalan terlebih dahulu dengan bukunya, yaitu kenalilah identitas bukunya!
Apakah identitas buku? sama halnya dengan kalian yang memiliki identitas, buku juga memiliki identitas, seperti, judul, pengarang, penerbit, dan sebagainya.
Contoh identitas kutipan buku nonfiksi 1
Judul buku : Gempa Literasi dari Kampung untuk Nusantara (nonfiksi)
Penulis : Gol A Gong dan Agus M. Irkham
Penerbit : Gramedia, Jakarta, 2012
Tebal buku : 510 hlm. xv
Kover : Warna dasar putih dan biru, terdapat gambar tangan yang sedang memegang bola dunia. Tangan tersebut bercorakkan tulisan. dan di bawah terdapat judul bukunya.
Contoh identitas kutipan buku nonfiksi 2
Judul buku : Buku Untuk Dibaca , All About Love, Life, and Hope
Penulis : Erick Namara
Penerbit : Citra Media Utama, Yogyakarta, 2016
Tebal buku : 380 + x
Kover : Warna dasar cokelat muda, tulisan judul buku warna hitam dengan huruf balok tebal dan menonjol, tulisan anak judul merah huruf kaptal, di bawah tulisan ada barcode tiga warna putih hitam dan logo Android warna hijau.
2. Cermati isi dalam setiap paragraf
Untuk mendapatkan maksud atau kesan umum dari sudut pandang pengarang aslinya, kalian bisa mencari gagasan utama atau gagasan pokoknya.
Misalnya:
Kutipan buku nonfiksi 1
Semua orang mengetahui membaca buku itu penting.
Minat baca anak Indonesia.
Rendahnya minat baca Indonesia tidak ada integrasi antara pelajaran dan kewajiban.
Tidak adanya standar minimal yang harus dihatamkan oleh siswa.
Rendahnya minat baca anak Indonesia karena pengalaman yang kurang menyenangkan.
Buku yang diperkenalkan kepada anak buku pelajaran yang tebal.
Kutipan buku nonfiksi 2
Rumah kakek di kota New York.
Saya menanyakan perbedaan sekarang dengan dulu.
Saya mendengarkan dan membayangkan keadaan masa sulit
3. Menyusun kerangka tulisannya
Setelah kalian membaca dan menemukan inti dari setiap paragraf, kalian rangkas inti paragraf tersebut . Dalam penulisan inti kalimat , gunakan kalimat sendiri tetapi isinya tidak hilang dan boleh tidak beraturan mengambil inti pada setiap paragraf .
Contoh:
Kutipan buku nonfiksi 1
Semua orang mengetahui membaca buku itu penting. Namun sayangnya, minat baca anak Indonesia didapatkan sangat kurang. Hal ini terjadi disebabkan anak Indonesia mendapatkan pengalaman yang kurang menarik. Buku-buku awal yang diperkenalkan kepada mereka adalah buku-buku pelajaran yang cukup tebal. Hal inilah di antaranya yang membuat anak Indonesia enggan membaca. Memang benar bahwa rendahnya minat baca anak Indonesia tidak ada integrasi antara pelajaran dan kewajiban, tetapi anak-anak Indonesia harus tetap membaca. Setiap siswa harus memiliki suatu kesadaran dan kewajiban untuk membaca walaupun tidak adanya standar minimal yang harus diselesaikan oleh siswa.
Kutipan buku nonfiksi 2
Rumah kakek berada di kota New York. Ketika saya dan kakek berjalan bersama, saya penasaran perbedaan kota New York dahulu dengan yang sekarang. Mendengar cerita kakek, saya dapat membayangkan keadaan masa sulit pada saat itu.
4. Memeriksa tulisan aslinya
Dalam hal ini, perlu kalian perhatikan dari buku aslinya, bahwa setelah kalian membaca kemudian melakukan ikhtisar kalian dapat bebas mengombinasikan kata-kata, asalkan tidak menyimpang dari inti yang disampaikan penulisnya. Kalian juga tidak perlu mempertahankan gagasan utama yang menurut kalian tidak penting, begitu pula urutannya. Bagaimana sudah paham? Tentunya kalian sudah memahami apa yang akan lakukan untuk membuat ikhtisar? Bila kalian sudah memahami, cermati kutipan buku selanjutnya dan hasil ikhtisarnya!
Paku
Ada seorang anak yang sangat pemarah. Ayahnya dan anak itu kemudian sepakat membuat permainan untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah. Ayah itu kemudian memberikan sekantung paku.
Permainan itu pun mulai dimainkan. Pada hari pertama, anak itu ternyata sudah memakukan 48 paku. Lalu sesuai dengan kesepakatan, si Anak pun akan mengurangi jumlah paku yang ditancapkannya itu apabila dia berhasil menahan amarahnya. Anak itu sangat kesusahan untuk mengambil paku yang telah ditancapkan pada kayu. Karena kesusahan itulah dia berusaha untuk menahan amarahnya.
Akhirnya, bertambah harl, jumlah paku yang menanam di pagar semakin berkurang. Anak tersebut peian-pelan bisa mengendalikan amarahnya. Dan pada saat anak itu mulai bisa mengendalikan amarahnya, dia pun mengatakan ha! itu pada ayahnya. Tetapi ayahnya meminta untuk menunggu beberapa hari lagi. Jika memang tidak ada paku yang ditancapkan, berarti dia sudah berhasil meredakan amarahnya.
Beberapa hari kemudian, ternyata anak itu memang berhasil meredakan amarahnya. Ayahnya menawarkan permainan baru. Ketika dia tidak marah dalam sehari, maka bisa mencabut satu paku. Dan dimulai dari beberapa hari lalu.
Si anak merasa senang. Dan dia setuju dengan permainan baru itu. Maka dimulailah setiap hari dia mencabut paku karena berhasil menahan amarahnya.
Hari terus berlalu dan anak itu selalu mencabut paku hampir setiap hari. Pada suatu hari, dia melihat hanya tersisa satu paku saja. Dia berteriak girang. Permainan hampir selesai. Besok adalah hari terakhir. Dia tidak boleh kalah.
Keesokan harinya dia berusaha dengan keras supaya usahanya berhasil dalam mengendalikan amarah. Apa pun godaannya, dia berusaha mengendalikannya. Dan ternyata dia berhasil melakukannya.
Dia pun berlari kepada ayahnya dan bermaksud menunjukkan ayahnya bahwa dia menang. Paku terakhir akan dicabutnya. Ayahnya pun mengikutinya.
Setelah paku itu dicabut, anak itu tersenyum bangga, Ayah itu kemudian menepuk pundak anaknya. "Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi, lihatlah lubang-Iubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu meninggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain."
*****
Setiap luka yang kita terima dari orang lain, kita mungkin bisa memaafkannya. Tetapi soal melupakannya? Belum tentu mampu. Dan juga pandangan kita kepada orang itu juga mungkin berubah selamanya.
Apa yang kita lakukan pun berlaku seperti itu. Apa yang kita katakan, tindakan kita, semuanya berpengaruh pada orang lain. Bisa memberi arti, bisa juga melukai. Dan keduanya samasama akan membekas di hati mereka. Karena itu pertimbangkan dengan baik sebelum melakukan apa pun kepada orang Iain.
Contoh ikhtisar:
Seorang ayah membuat kesepakatan dengan anaknya dengan cara permaianan. Permainan itu berupa menancapkan paku ke pagar kayu bila si anak itu marah. Hari pertama anak tersebut memakukan paku sebanyak 48 paku. Hari demi hari si anak dapat mengendalikan amarahnya dan tidak lagi menancapkan paku ke pagar kayu. Kemudian ayahnya menawarkan permainan baru, yaitu bila bisa menahan marah si anak harus mencaut paku yang ada di pagar kayu. Kemudian untuk beberpa hari si anak berhasil kembali menahan amarahnya. Si anak memberitahukan kepada ayahnya bahwa dia telah menang dalam permaian itu. Si anak menunjukan kepada ayahnya bahwa dia akan mencabut paku terakhir dan dia merasa bangga dan tersenyum. Kemudian ayahnya mengatakan bahwa anaknya telah berhasil tetapi lubang-lubang di pagar kayu tidak akan seperti sebelumnya. Kemudian ayahnya mengatakan bahwa kata-kata yang dilontarkan akan membekas di hati orang lain.
C. Rangkuman
Ikhtisar adalah sebuah penyajian singkat dari sebuah karangan asli tidak perlu memberikan seluruh isi dari karangan asli secara proporsional.
1. Ciri- ciri Ikhtisar
a. Tidak mempertahankan urutan gagasan
b. Bebas mengominasikan sebuah kata-katadengan syarat tidak menyimpang dari inti
c. Tujuannya untuk mengambil inti.
2. Fungsi ikhisar
a. Unuk mengembangkan ekspresi serta penghematan kata
b. Menemukan serta mengetahui isi seluruh buku atau karangan
c. Membimbing serta menuntun seseorang agar dapat memahami inti dari suatu isi
3. Langkah-langkah menulis ikhtisar
a. Mengenali identitas buku
b. Cermati isi dalam setiap paragraf
c. Menyusun kerangka tulisannya
d. Memeriksa tulisan aslinya.
D. Latihan Soal
Cermati informasi buku nonfiksi 1!
Tulisan Saya Jelek
Kepercayaan diri penting dimiliki bagi siapa saja yang ingin menulis. Dengan memiliki kepercayaan diri, berbagai tantangan menulis pasti akan dihadapi. Dan ia sukses. Namun, lain hal dengan orang yang tak mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Karena tidak PD dengan diri maupun tulisannya sendiri, ia pun menghakimi tulisannya dengan berkata: tulisan saya jelek.
Tentu ini sebuah kebiasaan buruk. Sebab, sejelek apa pun suatu, karya, ia tetap harus dihargai. Bukankah demikian kata orang bijak? Baik atau buruk sebuah tulisan tolok ukurnya apa? Problemnya, kita acap mengambil kesimpulan yang kadang terburuburu dalam menilai tulisan.
Misalnya, ada kebiasaan buruk yang orang tanpa sadar melakukan, yakni membandingkan tulisannya dengan tulisan orang lain sekelas tokoh nasional, misal dengan tulisan Gus Dur (alm.), Amien Rais, Rosihan Anwar (alm.) dan atau dengan yang lain. Atau, ia membandingkan tulisannya dengan tulisan yang kerap dimuat di media nasional.
Bagi, saya, tindakan ini tak salah, tapi cukup rentan berbahaya, apalagi jika dilakukan penulis pemula yang bermental labil. Ia membandingkan tulisannya dengan tulisan para tokoh dan atau membandingkan dengan tulisan yang telah dimuat di Kompas misalnya, tentu kualitas tulisannya jauh lebih rendah dibanding dengan tulisan para penulis hebat tersebut.
Secara logika, jika perbandingan itu dilakukan tentu tak berimbang. Masa tulisannya dibandingbandingkan dengan tulisan para tokoh yang dalam proses kreatif menulis jauh lebih dulu ia berproses dibanding dengan penulis pemula yang baru kemarin sore menulis. Hasilnya, sudah dapat ditebak, tulisan orang lain lebih baik dan tulisan kita sendiri jelek. Maka, saran saya hindari kebiasaan ini.
Akan tetapi, jika kebiasaan membanding-bandingkan tulisan sendiri dengan tulisan orang lain dalam kerangka proses belajar menulis yang konstruktif (membangun), tak jadi masalah. Tapi, dengan catatan, kita meski berjiwa besar, bersikap terbuka (inklusif), jangan anti-kritik, jangan takut salah, apalagi bersikap psimistis, bila ditemukan tulisan Anda lebih baik dari tulisan orang lain.
Parahnya lagi jika kita beranggapan bahwa tulisan Anda tidak bakal terbit di media. Tidak dapat dipungkiri, perasaan takut tulisannya tak dimuat media kerap kali muncul dalam diri penulis. Apalagi, jika ingin tulisannya diterbitkan di koran, jurnal ilmiah, jurnal internasional, yang dipenuhi dengan persaingan ketat antar-penulis. Jika ada orang yang berpikir seperti ini, bagai pepatah layu sebelum berkembang. Sementara, dalam istilah militer mati sebelum berperang. Kasihan sekali. Buang saja ke laut meminjam istilah politisi “nyentrik” Ruhut Sitompul.
Sebetulnya, untuk menghindar dari tudingan itu, saran saya segeralah menjauh dari pelbagai asumsi bahwa tulisan Anda tak bakal terbit. Yang penting Anda lakukan adalah terus menulis, jangan kapok apabila tulisan Anda tak dimuat, jangan takut dengan penulis lain. Dan jangan berhenti menulis di separuh jalanketika Anda sedang menulis.
Sebab banyak orang gagal dan atau menghindar dari aktivitas menulis karena ia takut dan bahkan tak punya kepercayaan diri bahwa ia akan sanggup menyelesaikan sebuah tulisan, bahkan hanya untuk menuntaskan artikel yang panjangnya hanya 5000 karakter. Orang tipe seperti ini , biasanya memiliki pengalaman yang kurang baik dalam menulis. Ketika ia coba menulis, ia gagal menuntaskan tulisan akibat malas atau kekurangan ide.
Parahnya lagi, ada pula orang yang berpikir tak dapat membuat tulisan utuh hanya karena ia pernah mendengar dari orang yang salah yang mengatakan menulis itu sukar. Padahal ia belum pernah praktik menulis. Parah betul bukan? Ibaratnya ia minum air padahal isinya racun. Seperti itulah gambaran tipe orang seperti ini.
Lantas, bagaimana mengatasi situasi ini? Awalnya, hilangkan pikiran bahwa tulisan Anda jelek, tulisan tak bisa diterbitkan media dan jauhi asumsi bahwa Anda tak dapat menyelesaikan sebuah tulisan. Dan ketika Anda menulis, tiba-tiba ide mandeg dan Anda bingung untuk melanjutkan tulisannya, sebaiknya tulisan tersebut diendapkan saja lebih dulu dan Anda melakukan aktivitas lain sembari Anda tetap berpikir dengan tulisan Anda tadi. Percayalah ide segar itu kembali akan datang dan Anda bisa menuntaskan tulisan hebat Anda. Coba saja !
Yupz, inilah dalih-dalih orang menghindar untuk menulis. Tentu, di lapangan masih banyak lagi alasan orang belum atau tidak menulis. Alasan orang belum menulis yang saya sampaikan di atas hanya bagiankecil dari beribu-ribu alasan seseorang menepis diri tak menulis.
So, dalih belum menulis harus dihilangkan, jika ingin dapat menulis. Caranya? Menurut Feby dalam tulisannya “Dalih”, dalih dapat dilawan dengan kita berdalih pula. Alasan orang belum menulis sebagaimana yang saya tulis di atas merupakan dalih negatif yang dapat dikalahkan dengan dalih positif. Begitu kata Feby.
Pertalian Minat Baca, Harga Buku, dan Daya Beli
Lebih dulu mana, ayam atau telur? Pertanyaan metaforis itu bakal muncul ketika kita mencoba menghubungkan minat baca, harga buku, dan daya beli. Pada pembaca buku berlaku demikian: minat baca tinggi tak serta-merta membuat daya beli tinggi. Dalih klisenya harga buku mahal. Mendapat sangkaan itu, penerbit pun berkelit. Bagaimana mungkin harga buku bisa murah, daya beli terhadap buku saja rendah. Buku yang dicetak belum tentu ludes dalam setahun. Belum lagi harga kertas yang terus naik dan pengenaan pajak buku. Penerbit terpaksa mencetak buku dalam jumlah yang tidak efisien. Karena tidak efisien, harga pokok produksi pun menjadi tinggi.
Menariknya, ketika buku tertentu laris sehingga biaya produksinya ringan, harga jual buku tidak menjadi murah, atau minimal lebih rendah dibandingkan dengan harga buku cetakan pertama. Harga buku hasil proses produksi yang sangat eiisien tersebut masih sama dengan harga buku hasil produksi yang tidak efisien. Satu amsal menggiring kita pada simpulan sementara bahwa tidak ada jaminan setelah harga buku betul-betul dapat ditekan lantas daya beli meningkat. Dalam kenyataannya, daya beli tidak sematamata dipengaruhi oleh faktor harga-meskipun sering dijadikan kedok. Terbukti, beberapa buku yang harganya tergolong mahal bisa terjual ratusan ribu eksemplar dan terus diburu orang. ”
Lantas, pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan un' tuk mengurai benang kusut pola hubungan antara minat baca, harga buku, dan daya beli itu?
Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan dan menjawab pertanyaan di atas. Sekadar beriur interupsi kecil: ternyata buku, yang dinilai sebagai produk budaya, lebih sering hanya menjadi tempelan, belum benar-benar terintegrasi ke dalam budaya. Akibat yang paling kentara adalah sulitnya menyusun formulasi yang cespleng antara minat baca, harga buku, dan daya beli.
Belum lagi, tantangan dan tentangan yang ditimbulkan oleh melejitnya perkembangan audio (radio) dan visual (televisi) mengakibatkan terjadinya loncatan budaya. Dari kelisanan primer (primary orality), saat belum ada kemampuan baca-tulis, ke kelisanan sekunder (secondary orality), ketika kemampuan baca-tulis tidak begitu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audiovisual (Kleden, 1999). Goenawan Mohamad menyebutnya dari visual wayang langsung ke visual film.
Simpulan bahwa di Indonesia, buku masih digunakan sebagai tempelan dapat ditelusuri dari asumsi berikut: selama ini, secara umum, buku sering dipahami sebagai tanda tahap perkembangan keterbukaan dan modernisasi suatu bangsa. Citra yang terbentuk dari orang yang karib dengan buku adalah terpelajar, tercerahkan, mempunyai empati yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang steril buku.
Empati adalah kemampuan untuk merasakan berada dalam posisi orang lain. Kemampuan itu bisa saja dimiliki karena buku merupakan hasil kreasi yang sifatnya personal. Pengalaman orang lain atau komunitas dilipat, kemudian dihidangkan kepada pembaca dalam bentuk lembaran-lembaran kertas. Buku menjadi sarana orang mengasah dan memunculkan empati. Pendeknya, buku dan kemajuan berada dalam satu pola hubungan searah. Pada titik itu buku menjadi variabel independen (sebab). Jika ini yang kita pahami, bentuk kebijakan yang harus ditempuh mencapai tingkat kemajuan minat baca dan bangsa yang lebih tinggi adalah dengan mendorong para pengarang, penulis, dan penerjemah untuk menyiapkan banyak naskah yang berkualitas. Pada saat yang sama, penerbit-penerbit buku harus didirikan. Pemerintah pun harus mengeluarkan kebijakan yang friendly pada industri perbukuan, misalnya melalui penghapusan pajak penulis dan penerbit sehingga harga buku lebih terjangkau. Secara otomatis, minat baca masyarakat akan meningkat.
Betulkah begitu? Mungkinkah yang terjadi justru sebaliknya? Lantaran orang terpelajar, tercerahkan, sadar akan pentingnya informasi dan pengetahuan, terdidik, lantas ia menjadi suka baca buku-sumber informasi dan pengetahuan. Dengan demikian, aktivitas membaca buku bersifat variabel dependen (akibat). Jadi, jika ingin masyarakat kita gemar membaca (dan menulis), yang harus diperbaiki adalah soal-soal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan-baik sarana maupun kurikulumnya-bukan pada harga buku, karena pertimbangan membeli buku sudah tidak lagi pada harganya, tetapi kebutuhan. Kurikulum pendidikan diarahkan pada kecintaan membaca buku dan mendaras bacaan sehingga di tiap tes guru bisa mengecek kemajuan bacaan peserta didik, menyangkut bacaan wajib (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), serta bacaan yang menyangkut pengetahuan umum (general knowledge).
Buku, baik sebagai variabel independen maupun dependen, sejatinya menyimpan kebenarannya masing-masing. Artinya, salah satu atau keduanya dapat menjadi pintu masuk guna mengurai pola jalin minat baca, harga buku, dan daya beli yang ruwet itu. Tak terkecuali pamrih mencerdaskan bangsa. Namun, yang terjadi di negeri kita sebaliknya. Bukan salah satu, melainkan kedua pintu itu sama sekali tidak dimasuki. Buku dan pendidikan sama-sama dinilai sebagai entitas yang semata-mata berdimensi ekonomi dan politik. Tidak ada sangkut pautnya dengan budaya.
Gabung dalam percakapan